Dalam kehidupan penduduk Indonesia lembaga perkawinan, sumber abadi dari pembaharuan kehidupan kelompok, ada di pusat semua perhatian dan kesejahteraan keluarga dan dengan demikian juga dari harta-benda (kekayaan) keluarga.
1. Penentuan pilihan sebelum perkawinan
2. Pertunangan
3. Perkawinan keluarga
Untuk menilai dengan cepat kedudukan wanita Indonesia di dalam pergaulan hidupnya adalah sangat penting untuk selalu mengingat, bahwa perkawinan itu tidak saja merupakan satu urusan individual (perorangan) dari kedua suami istri tetapi bahwa juga kelompok-kelompok yang lebih besar dari mana suami istri itu berasal dan bahkan masyarakat hukumnya ikut serta didalam urusan ini. Begitu banyak yang mencolok—terutama di daerah-daerah dimana berbagai kelompok masih tersusun secara genealogis (sesuai dengan asal-usul mereka) adanya bukti-bukti dari aspek yang terakhir ini (common aspect: dimana ada prinsip “bersama”) bahwa orang bahkan dapat melupakan sifat perkawinan itu yang “juga individual” (tidak bersama-sama) telah makin tampil kemuka (dan masarakat-masarakat terutama telah juga bersifat teritorial) prinsip “bersama” di dalam perkawinan seperti juga hanya di dalam lembaga-lembaga lain, kurang tampak. Tetapi untuk mengarti dengan baik keadaan-keadaan itu, juga di daerah-daerah ini, orang harus memperhatikan adanya “prinsip” ini, yang bagai mana juga harus tetap ada secara terpendam (latent).
Perkawinan itu menciptakan suasana subsosial dari pergaulan hidup satu kesatuan baru (keluarga) terdiri dua orang yang telah dapat berdiri sendiri dan mendapat hak penuh; satu kesatuan baru yang berdiri sendiri, di samping keluarga-keluarga lain yang telah ada, yang lambat-laun akan berkembang menjadi kelompok yang lebih besar. Bahwasanya hukum adat dan adat mengakui aspek (segi)individual dan perkawinan pada keluarga, tercermin didalam peraturan-peraturan tentang hukum perkawinan dan keluarga dan di dalam tingkah laku orang-orang sesama kelompok dan siapa saja dari pihak ketiga.
Pertama-tama hukum adat mengenal dan melindungi benar-benar, bahwa keluarga dan rumah tangga keluarga itu adalah satu lingkungan kekariban yang tutup, meskipun sifat tertutup ini – seperti ini nanti masih akan terbukti – bagi anggota-anggota kelompok hanya relatif saja. Prinsif ini berlaku penuh untuk setiap orang lain dari pihak ketiga, meskipun a.l. pemerintah masih juga tetap tidak menghirau kan prinsip ini di dalam peraturan-peraturan polisinya (penggeledahan). Kemudian hukum adat melindungi perkawinan perorangan dan keluarga dengan jalan mengamankannya terhadap pelanggaran –pelanggaran oleh pihak ketiga dengan ancaman hukuman dan sangsi-sangsi lain dan pihak suami istri itu sendiri. Kewaspadaan terus menerus dan campur-tangan dari pihak kedua keluarga dan dari kelompok bermaksud pada umumnya juga untuk menghindarkan perkawinan dan keluarga yang telah berbentuk dari mala petaka dan untuk menyingkirkan kesulitan-kesulitan yang timbul. Mereka karenanya selalu memikirkan tentang adanya satu integritas dan sifat individual dari perkawinan dan keluarga. Hukum adat dan adat selanjutnya mengatur hubungan antara suami istri di dalam keluarga, tingkah laku mereka keluar dan hubungan mereka dengan anak-anak. Dan akhirnya pada umumnya orang mendapatkan hampir di mana-mana bahwa pemeliharaan semua kepentingan ideal maupun material yang dianggap sebagai kepentingan-kepentingan keluarga lebih banyak diserahkan kepada keluarga dalam arti sempit (sebagai satu kesatuan yang berdiri sendiri). Pengurusan rumah tangga keluarga terutama diserahkan kepada suami istri mereka mengatur dan menentukan jalannya segala sesuatu sehari-hari, mereka mengatur sendiri tingkah laku mereka, penggunaan harta benda keluarga dan terutama dia yang berkuasa terhadap anak-anak dan pendidikannya. Bahwa juga dalam hal ini seperti akan terbukti nanti, kemerdekaan keluarga secara individual hanya relatif saja, tidak mengurangi prinsip kemerdekaannya dan hanya berarti didalam dunia ini yang pengertiannya adalah komunal (atas dasar prinsip “bersama”) kemerdekaan keluarga individual, yang lebih besar belum dapat dicapai dan belum mungkin ada.
Sifat relatif dan mula-mula dari individualitas dan kemerdekaan per kawinan dan keluarga sudah tampak jelas, jika orang mengingat, bahwa didalam pergaulan Indonesia perkawinan dan pembentukan keluarga – lain daripada di Eropa Barat – masih mempunyai arah dan tujuan lain daripada untuk menjamin kebahagiaan pribadi dari anggota-anggota. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilihat oleh pendirian mengenai organisme yang ada dan hidup dari kelompok-kelompok yang lebih besar yang mencakup nya adalah saat dan pembentukan sel untuk menghidupkan kembali organisme ini; mereka adalah juga lembaga-lembaga yang bertujuan untuk memelihara dan memperbesar kelompok dan masarakat hukum melalui anak dan keturunannya dan juga dalam hal lain memajukan kesejahteraan kelompok dan masarakat hukum. Ditinjau demikian; maka perkawinan dan keluarga segera terbukti merupakan kepentingan kelompok. Juga pentinglah akibat-akibatnya sebab dalam hubungan ini juga jelas; (1) bahwa tiap pemudi atau pemuda yang cukup usianya untuk kawin mempunyai kewajiban terhadap masarakat untuk kawin dan mendapatkan banyak anak; (2) bahwa seluruh kelompok ikut campur tangan dalam hal-hal ini, mengejek gadis tua dan mencela keadaan mereka yang membujang (sebagai suatu keadaan yang tidak lazim); (3) bahwa perkawinan membawa kewargaan penuh dari kelompok dan juga membuat si gadis – kecuali dalam hal perkawinan kanak-kanak – dewasa dan berhak untuk berbuat; (4) bawa suatu perkawinan yang tidak menghasilkan anak dianggap sebagai perkawinan yang tidak sempurna dan; (5) bahwa tidak beranak merupakan satu alasan untuk perceraian atau alasan sah untuk mengambil istri kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar